Senin, 30 Juni 2014

Menara Air Stasiun Kalisat

Senin, 30 Juni 2014

Menara Air Stasiun Kalisat Kabupaten Jember

Menara air kereta api ini tak lagi berfungsi. Lokasinya masuk di desa Ajung kecamatan Kalisat, dengan jarak sekitar 200 meter dari Stasiun Kalisat. Dulu, menara air berfungsi untuk mengisi air buat loko uap.

Tampak dalam foto, di sebelah kiri menara air terdapat pagar pembatas. Kini pagar itu digunakan untuk memberi batasan ruang gerak pada ayam peliharaan agar tidak berkeliaran kemana-mana. Ayam-ayam tersebut milik Bapak Haji Sukardi. Rumah Haji Sukardi --Purna PJKA-- tepat di samping menara air.

Di sekitar menara air terdapat beberapa rumah yang merupakan komplek asrama militer. Tak jauh dari sana juga ada Aula PEPABRI. Masih di lingkungan yang sama, di sana ada sebuah rumah yang menyisakan arsitektur Belanda. Dulu di masa Agresi Militer tahun 1947-1949, ia digunakan sebagai markas KNIL. Pasukan Cakra Madura juga ditempatkan di areal sekitar menara air.

Selasa, 17 Juni 2014

Kantor Pos Kalisat

Selasa, 17 Juni 2014

Hulppost- en telegraafkantoor te Kalisat

Ini foto Kantor Pos Kalisat, di lokasi yang sama. Dijepret sekitar tahun 1930. Sumber dari sini.

Adapun gedung tersebut kini masih dimanfaatkan sebagai Kantor Pos di Kalisat, dengan sedikit sentuhan di sana sini. Dulu jalan menuju Kantor Pos Kalisat masih bernama JL. Stasiun, sebab memang mengarah ke Stasiun Kalisat. Kini alamat Kantor Pos Kalisat adalah JL. Cokroaminoto No. 24 Kalisat, 68193.


Kantor Pos Kalisat kini - Dokumentasi Kari Kecingkul

Senin, 16 Juni 2014

Teatrikal Pasukan Sroedji di Kalisat

Senin, 16 Juni 2014

Teatrikal Perjuangan Pasukan Sroedji oleh Teman-teman Kalisat, 13 Juni 2014

Saya terharu ketika melihat aksi teatrikal kawan-kawan muda Kalisat tiga hari yang lalu. Bukan karena mereka tampil sempurna, bukan pula karena kostum yang dikenakan. Saya terharu sebab sangat mengerti bagaimana mereka mempersiapkan ini semua.

Adalah Wahyu Muhammad Arif, siswa SMAN 1 Kalisat yang baru lulus tahun ini, ia bertugas membaca dan memahami isi novel karya Irma Devita. Kemudian, Wahyu mengumpulkan rekan-rekannya dan menuturkan isi novel tersebut.

"Waktunya mepet Mas, sementara kami hanya punya satu novel saja."

Kepada Wahyu saya meminta maaf. Saya bilang, novel milik kami dipinjam oleh teman, setelah selesai akan dipinjam lagi oleh teman yang lain. Begitu seterusnya, mungkin dalam waktu yang lumayan lama. Seperti pohon faktor. Dia bilang, tidak masalah sebab telah mengerti harus bagaimana membuat alur teatrikal.

Bagaimana dengan kostum?

"Kami tidak punya kostum-kostum perjuangan Mas, tapi kami akan mengusahakannya. Jika tidak ada, mungkin kami akan memakai baju milik Bapak kami masing-masing. Kalau yang ada hanya baju seragam guru, ya sudah itu saja yang kami pakai. Sing penting kostum gawe pemeran Letkol Moch. Sroedji kudu apik Mas."


Tampak dalam foto, Putri Sroedji diberi cinderamata oleh Kades Ajung, Yusri Irawati

Ya, saya masih mengingatnya.

Benar juga, ketika tiba waktunya, saya melihat kostum-kostum itu. Sangat sederhana. Ada yang hanya memakai kaos Oi dan bercelana pendek, ada juga yang menggunakan seragam pegawai negeri milik orang tuanya.

Di pembuka teatrikal, adaaa saja orang dewasa yang nyeletuk mencoba menggoda para pemain. Tapi lama-lama mereka membisu juga.

Saya sering menundukkan kepala. Ketika mendongak entah yang keberapa kalinya, saya melihat penampilan si Tejo. Dia terlihat ekspresif.


Para penonton teatrikal memenuhi tempat yang disediakan

Beberapa hari sebelumnya saya sempat bercanda dengan Tejo dan teman-temannya, ketika mereka sedang membuat katil. Tejo digojloki oleh para sahabatnya sebab dua kali tidak naik kelas. Tejo tidak marah, dia tersenyum saja. Ketika melihatnya turut berperan di acara teatrikal yang serba sederhana, tentu saya bangga. Tejo cerdas di bidangnya, hanya saja mungkin guru-gurunya belum menyadari bidang apakah itu.

Di penghujung teatrikal, saya semakin menundukkan kepala. Sebabnya, ada seorang gadis membacakan puisi --yang ada di dalam novel-- dengan simpel tapi menusuk.

Ini teatrikal yang biasa, jauh lebih sederhana dari teatrikal manapun yang pernah ada. Namun, mereka membuat saya menundukkan kepala.

Teman-teman, kalian keren!

Sabtu, 07 Juni 2014

Badut Sejati Dari Kalisat

Sabtu, 07 Juni 2014

Mas Opik - Dokumentasi Pribumi Advertising

Saya masih ingat ketika pertama kali berjumpa dengannya. Ia mengenakan hem warna cerah, bersarung, lengkap dengan songkok yang dipelorotkan ke dahi hingga mendekati tengah alis. Wajahnya tampak ceria, tak kentara jika enam tahun lagi usianya genap setengah abad.

Caranya bercerita terbilang cerdas, membuat ekspresi wajah pendengarnya berubah-ubah. Kadang serius, kadang tertawa ngakak. Dia memulai kisahnya saat bekerja sebagai sopir ambulance sejak pertengahan tahun 1990an. Lalu, pada kisaran 2007, ia menjabat sebagai carik atau sekretaris desa di desa Sukosari.

Saya terkesan ketika dia bertutur tentang penggalan pengalaman saat menjadi sopir ambulance.

"Paling apes itu kalau harus mengangkut jenasah orang yang meninggal dengan cara tidak normal. Kadang tubuhnya tidak bisa diluruskan. Saya masih harus menyiramnya dengan air panas."

Meski ceritanya sedikit seram, namun lelaki bernama lengkap Taufik Dwi Septiarso ini pandai sekali merangkainya dengan humor-humor segar.

Ada juga sih kisah sedihnya, ketika lelaki kelahiran 27 September 1970 ini harus pontang panting mencari duit untuk biaya pendidikan salah satu anaknya. Suatu hari buah hatinya meminta uang. Lalu ia bertanya, uang itu untuk digunakan kapan? Eh, ternyata hari terakhir pembayaran adalah esok harinya.

"Ya sudah, demi anak BPKB pun ikut sekolah!"

Melihat caranya mengisahkan pengalaman hidup, saya tersenyum, meski tetap menyisakan ruang empati.

"Pekerjaan yang paling banyak suka dukanya itu ya Badut. Saya bahagia menatap senyum bocah-bocah, kadang juga merasa kasihan ketika ada yang menangis histeris melihat tampilan saya. Ya, itu peran yang harus saya jalani. Menjadi badut adalah tentang membahagiakan orang lain, meski kadang kita sendiri sedang ada di suasana hati yang tak prima."

Keren!

Menjadi badut tak semudah yang saya kira. Jika kita jatuh, labu napang, anak-anak kecil bakal bersorak. Dikiranya itu bagian dari atraksi. Kita juga harus siap tampil meski hanya di depan seorang perempuan hamil yang sedang ngidam.

Berani menatap hidup, berani bermanfaat untuk orang lain. Setidaknya, itu falsafah yang saya dapatkan dari seorang lelaki beranak dua yang akrab dipanggil Mas Opik ini.

Mas Opik, ia menyegarkan kembali ingatan kita semua bahwa setiap orang adalah guru bagi kita dan setiap tempat adalah sekolah bagi kita.

Terima kasih inspirasinya, Mas. Salam Kari Kecingkul.

*Hasil obrolan awal Juni 2014

Kamis, 05 Juni 2014

Gardu yang Hilang, Gumuk Cina dan Pak Boerah

Kamis, 05 Juni 2014

Tadi sore, kawan-kawan mengajak saya cangkruk'an di rel belakang Perumahan Ajung, Kalisat. Dulu di sini dikenal dengan nama Gardu, tempat pertemuan antara rel yang menuju Jalur Kalisat - Banyuwangi dengan jalur Kalisat - Panarukan. Kini yang beroperasi hanya satu, Jalur Jember - Kalisat - Banyuwangi. Sedangkan jalur satunya lagi mangkrak.

"Jadi Mas, di sini letak gardunya, di titik S 35. Ada penjaga yang bertugas untuk memindah jalur, mengikuti kode sinyal. Bukan sinyal hape lho, tapi sinyal kereta api."

Kini gardu yang dimaksud sudah tidak ada lagi. Di atas tanahnya ditumbuhi ilalang dan pohon pisang. Kita hanya bisa melihat ujung rel untuk tujuan Panarukan. Jika jalur ini dibuka kembali, tentu areal ini butuh diperhatikan secara serius.


Di sinilah tempat pertemuan antara rel yang menuju Jalur Kalisat - Banyuwangi dengan jalur Kalisat - Panarukan. Dokumentasi oleh Ivan Bajil, 5 Juni 2014.

Saya suka berlama-lama di tempat ini. Sejauh mata memandang, ada terlihat gumuk-gumuk, dua diantaranya digunakan sebagai makam untuk overseas Chinese. Orang Kalisat akrab menyebutnya Guchi.

"Di sini, Yok yang paling terkenal namanya Yok Panggung. Tokonya di Pasar Sore, arah menuju Stasiun Kalisat. Arsitekturnya dipertahankan hingga sekarang, banyak unsur kayu jatinya. Dulu mereka dikenal gara-gara jualan Cao dan Tao Co."

Yok adalah sebutan warga untuk sedulur Cina yang berdagang. Bukan hanya Yok Panggung saja yang mereka kenal. Masih ada Yok Kepak, Yok Gembreng, Yok Coni, dan masih banyak lagi.

Sepulang dari jalan-jalan, saya singgah di rumah Ibu Sulasmini. Ia tampak senang.

"Jangan keburu pulang ya Nak, Ibu bikin cakalan dengan bumbu Papua."

"Lho, Ibu juga pernah tinggal di Papua juga?"

"Iya Nak, kan sudah cerita kalau hidup Ibu dan Pak Oesman berpindah-pindah. Setidaknya setiap enam bulan."

Lalu kami makan bersama-sama. Setelahnya, kami berbincang-bincang. Entah bagaimana awalnya, Bu Sulasmini tiba-tiba menyebut nama Boerah.

"Di sini ini, kalau nggak ada pak Boerah, habis! Akan ada banyak orang yang diangkut di zaman 45 sampai Belanda datang lagi."

Kata Bu Sulasmini, nama Pak Boerah harum di Kalisat. Selain di Ajung, ia paling sering berada di Sukogidrih, Sumber Anget dan Karang Paiton. Itu tempat-tempat yang diincar Belanda.

"Hasil panen tembakau dan padi, kalau dari Sukogidrih, Sumber Anget dan Karang Paiton, harganya lebih mahal. Rasanya berbeda. Orang-orang Londo mengerti betul tentang ini. Entah karena faktor apa, mungkin unsur tanahnya, atau lantaran anginnya yang ideal."

Saya mengangguk mendengar kata Ivan, anak bungsu Bu Sulasmini. Saya kira, itu disebabkan oleh faktor banyaknya gumuk.

Saya bertanya, "Bukankah katanya Pak Boerah orang Karangkedawung?"

Bu Sulasmini tersenyum. Dia bilang, jarak antara Kalisat - Mayang - Karangkedawung tidaklah jauh. Ketika masih muda, ia sering jalan kaki ke sana, apalagi jika musim pasaran. Bu Sulasmini menutup kisahnya dengan pertanyaan, "Kenapa sekarang terasa jauh ya Nak?"

Beberapa saat sebelum pulang, Ivan mengingatkan saya untuk membawa memori kameranya. Dia ingin foto-foto rumah tua di depan Stasiun Kalisat dikirimkan ke Marjolein. Tadi sebelum ke Gardu Rel, kami memang lama sekali mengubek-ubek dua rumah tua tak berpenghuni yang menyimpan kisah penyiksaan pejuang.


Salah satu sudut rumah tua di seberang Stasiun Kalisat

Jalan-jalan sambil belajar sejarah memang menyenangkan. Ia memberi kita inspirasi, pelajaran, dan memberikan kesadaran waktu. Kita akan dibuat mengerti tentang adanya gerak sejarah. Kesadaran itu membuat kita bisa memandang peristiwa-peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang terus bergerak dari masa silam, bermuara ke masa kini, dan berlanjut ke masa depan.

Dengan sejarah, kita bisa meraba-raba apa yang tersembunyi dan yang disembunyikan.

Sebagai penutup catatan, saya ucapkan selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Salam Lestari!

Rabu, 04 Juni 2014

Kisah Ibu Sulasmini

Rabu, 04 Juni 2014

Ibu Sulasmini - Dokumentasi Kari Kecingkul

Nama saya Sulasmini, kelahiran tahun 1938. Orang-orang Kalisat yang mengenal saya, mereka biasa memanggil Bu Oesman. Itu nama suami saya, Bapaknya Ivan. Kami menikah tahun 1951. Saat itu saya belum 16 tahun, jadi tanggal lahir saya di surat nikah dirubah, biar bisa kawin.

Saya dan Bapak Oesman, kami dianugerahi sembilan buah hati, Ivan itu anak ragil. Cicit saya 13, sedangkan cucu? Saya lupa, mungkin 26. Lebih mudah menghitung cicit daripada cucu.

Setelah menikah, kami sering berpindah-pindah tempat. Maklum, saya istri seorang tentara. Satu tahun setelah menikah saja, kami sudah tinggal di Flores dan tetap berpindah-pindah. Enam bulan di Ende, lalu Maumere, lalu Larantuka. Kadang terasa capek. Syukurlah, untuk masalah makan apa kata bagian dapur.

Harta kekayaan kami hanya kasur, seprai, dan hal-hal sederhana lainnya.

Di Flores tidak ada cakalan seperti yang saya rindukan. Padahal ikan laut di sini besar-besar. Kalau mereka membuat cakalan hanya sekedar dibakar dengan bumbu sederhana. Suatu hari saya bikin cakalan yang racikannya seperti di Kalisat. Banyak yang suka. Barangkali mereka masih melestarikan racikan itu hingga sekarang.

Saya kerasan tinggal di Flores, terutama di Larantuka. Orangnya ramah-ramah, lingkungan alamnya cantik.

Menjadi SUKWATI alias SUKARELAWATI

Pertengahan tahun 1960an, ketika itu suami saya sudah dinas di Sukorejo. Kalau tidak salah ingat, saat itu pangkatnya sersan mayor. Ketika itu kami dikumpulkan, 60 perempuan. Kami mewakili Brimob, Kepolisian, CPM, 509, Batalyon Tanggul, dan satu lagi saya lupa.

Kami dilatih selama 6 bulan lamanya untuk menjadi Sukwati.

Saya paling tidak suka dengan latihan baris berbaris. Latihannya sejak pukul sebelas siang hingga pukul satu. Sayangnya, itu adalah latihan wajib, setiap hari. Kalau latihan meriam, hari senin dan sabtu di Mumbulsari. Latihan tembak biasanya juga di Mumbulsari. Saya diharuskan bisa mengoperasikan berbagai senjata. Mulanya bingung, tapi lama-lama saya menjadi sehati dengan Pistol, Jeren, LA, Cong dan Sten.

Cong itu jenis senjata yang pelurunya ada di luar. Ketika tiarap sambil memegang Cong, kaki harus dibuka. Ini senjata favorit saya.

Setengah tahun yang berat. Pagi-pagi pukul setengah lima saya berangkat dari Kalisat ke Jember, pulangnya jam lima sore.

Suka duka selama latihan? Hmmm, apa ya?

Saya ingat. Yang paling sering ditempak oleh pelatih adalah istri-istrinya Polisi. Waktu itu, rata-rata dari mereka manja sekali. Istrinya Armed juga begitu.

Hal paling buruk dari SUKWATI yang saya ingat hanya satu. Kami para lulusan Sukwati belum sempat mendapat ijasah. Kondisi politik negeri ini lagi gonjang-ganjing oleh komunisme. Kalisat ada banyak Gerwani. Serem.

Waktu ada Agresi Militer, saya masih belum menikah dengan Bapak Oesman K. Setelah menikah, dia kadang bercerita tentang itu. Suami saya anak buah Pak Magenda. Ketika mendengar kabar duka, Bapak susah makan berhari-hari, dia sedih.

Apakah saya dendam pada Belanda? Tidak. Ketika Indonesia sudah merdeka, orang-orang Belanda masih banyak sekali di Flores hingga tahun 1950an. Kami bisa hidup berdampingan karena memang setara.

Lagipula, Bapak dari Bapak saya adalah orang Belanda, akrab dipanggil Sinyo Yan. Bapak saya sendiri asli Solo, namanya Surodo Sumodiharjo. Ia menikahi perempuan Kalisat bernama Painem. Itu nama Ibu saya.

Semoga tidak ada lagi penjajahan ya Nak.

*Hasil wawancara RZ Hakim, 3 Juni 2014.
Sudut Kalisat © 2014