Jumat, 28 November 2014

Tonggeret: Kami Menyebutnya Kalaruweh

Jumat, 28 November 2014
Pilkades serentak di beberapa Desa di Kalisat tak kuasa membendung hujan sore hari. Saya, Zuhana dan Mas Ivan berteduh di rumah Mas Oldiez. Setelahnya, langit terlihat cerah sekali. Saat yang tepat untuk jalan-jalan sambil mengamati tumbuhan semak.

Di desa Kalisat kecamatan Kalisat, ketika lagi asyik mengamati semak bernama ilmiah Euphorbia hirta di dekat jeruk purut, mata saya menatap sesuatu yang janggal. Warnanya cokelat muda, mirip sekali dengan warna kayu yang ditumpanginya. Lalu saya perhatikan lagi dengan seksama. Barulah kemudian saya mengerti, sesuatu yang mengusik mata itu adalah tonggeret alias garengpung. Kawan-kawan Jember biasa menyebutnya kalaruweh.

Tak seperti biasanya, tonggeret itu hinggap di dahan yang rendah sekali.


Kalaruweh

Ketika saya masih kecil, saat mendengar suara tonggeret yang nyaring, maka saya mengerti bahwa musim kemarau sudah di depan mata. Ketika besar, barulah saya mengerti jika hanya tonggeret jantan sajalah yang bisa menghasilkan suara.

Baru tiga hari lalu saya dan Mas Imron berdiskusi tentang serangga yang satu ini. Dia bilang, masa hidup tonggeret sebagian besar dihabiskannya dalam bentuk nimfa di dalam tanah.

Saat menjadi nimfa, tonggeret muda akan memenuhi kebutuhan nutrisinya --di dalam tanah-- dengan cara menghisap cairan dari akar pohon.

Siklus hidupnya panjang, berlangsung antara 2-5 tahun. Sedangkan setelah bermetamorfosis menjadi tonggeret dewasa, ia hanya dapat hidup selama beberapa minggu sampai beberapa bulan saja.

Ada juga jenis tonggeret yang berasal dari Amerika Utara. Ia mempunyai siklus hidup 13 hingga 17 tahun.

Menurut artikel yang baru saja saya baca, di dunia ada sekitar 3.000 spesies tonggeret, banyak sekali yang belum dideskripsikan.

*Dokumentasi Kari Kecingkul, 27 November 2014

Selasa, 18 November 2014

Kari Kecingkul di Puncak Rinjani

Selasa, 18 November 2014
Selasa sore, 4 November 2014. Lima orang teman dari Kalisat akan berangkat menuju Lombok. Oldiez, Ivan, Wiwit, Lukman, dan Nyek. Mereka hendak mendaki puncak Rinjani. Dari Kalisat menuju Banyuwangi, disepakati naik kereta api. Mereka berkumpul di gedung tua di seberang stasiun yang baru saja disewa oleh Frans. Gedung itu akan disulap menjadi sebuah kafe.

Langit Kalisat tampak mendung. Saya dan Hana menemani Frans yang sedang sibuk menata ruangan. Katanya, tak lama lagi kafe sudah siap dibuka. Frans bertanya, apakah saya sedang menunggu seseorang? Saya bilang, saya ingin mengantar kepergian teman-teman naik kereta api menuju Banyuwangi, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Lombok.

Sembari menanti datangnya teman-teman, iseng saya memotret beberapa bunga di pelataran stasiun Kalisat. Di taman pasif itu ada Sansevieria hyacinthoides alias lidah mertua, Bougenville, Hanjuang, ada juga bunga bakung seperti tampak dalam foto di bawah ini.


Bunga Bakung di pelataran Stasiun Kalisat, 4 November 2015

Satu persatu teman mulai berdatangan. Oldiez, Ivan, Nyek, dan Lukman. Mereka diantar oleh Ari Zona Rambi, keponakan Oldiez. Satu orang yang belum datang, Wiwit, atau biasa dipanggil Ajjih. Detik terus berjalan, langit semakin mendung, namun Wiwit tak juga datang. Syukurlah, di detik-detik terakhir keberangkatan kereta api, Wiwit datang juga. Mereka pun siap-siap hendak berangkat. Saya dan istri mengantarkan hingga ke pintu peron, batas antara calon penumpang dan pengantar.

Minggu, 9 November 2014. Teman-teman telah sampai di Jember dengan selamat. Di sebuah kolom komentar di Group Facebook Kari Kecingkul, Ivan mengabarkan, "Alhamdulillah pendakian Rinjani sukses. Kaos Kari Kecingkul dan Save Gumuk telah berkibar di puncak Rinjani." Senang mendengarnya.


Nyek dan Oldiez di puncak Rinjani

Foto di atas dikirim oleh Ivan melalui inbox pada tanggal 13 November 2014. Dua hari kemudian, 15 November 2014, Frans sedang grand opening kafe-nya yang terletak di seberang pelataran stasiun Kalisat. Saya dan Hana tentu bahagia bisa menghadiri pembukaan perdana kafe itu. Semoga sukses, Frans.

Kabarnya malam ini teman-teman sedang nongkrong di kafe. Ada Ivan dan teman-teman yang lain. Sayang sekali saya tidak bisa bergabung. Lagi pula, langit malam sedang mendung.

Senin, 17 November 2014

Menghabiskan Setengah Hari di Kalisat

Senin, 17 November 2014
Oleh Zuhana Anibuddin Zuhro

Hari kedua di tiga tahun usia pernikahan kami adalah 16 November 2014. Ya, sedari siang sampai selepas Isya' kami menikmatinya di sebuah tempat yang selalu penuh kenangan. Kalisat, A Place to Remember.

Sebelum berangkat, ada informasi dari Bang Faisal Korep bahwa sebagian besar anak-anak SWAPENKA ada di Kalisat untuk membicarakan seputar usaha jamur dengan Frans. Sekitar pukul 12.00 WIB, kami meluncur dari Panaongan menuju Kari Kecingkul. Di daerah Glagahwero, kami berpapasan dengan Arus dan Sodung. Mereka berdua adalah anggota SWAPENKA. Saya hanya melihat mereka berdua saja dari arah yang berlawanan. Kemungkinan, rombongan yang lain masih ada di Kalisat dan hanya mereka berdua yang berpencar pulang.

Sepertinya, mendung membuat suasana hati manusia tak lagi bisa ditebak.

Saat itu juga, persis di belakang sepeda motor kami sudah ada Frans. Katanya dia baru dari rembangan, mengambil susu segar untuk kebutuhan cafe barunya. Frans mengajak kami untuk singgah ke cafe yang baru saja dibuka tepat pada tanggal 15 November 2014. Tepat di usia pernikahan kami yang ketiga, dan pas juga malamnya ada acara penggabungan donasi dari save gumuk ke donasi yang dimotori oleh Mas Giri.


Acara Tamasya Band bekerja sama dengan teman-teman dari PSTF Universitas Jember, sekaligus dijadikan momentum malam penggabungan donasi save gumuk, 15 November 2015. Teman-teman dari Kari Kecingkul turut hadir di acara itu. Odong bahkan turut bernyanyi. Terima kasih.

Frans membuka pagar yang bahannya adalah kulit kayu. Kemudian bersegera membuka pintu besar bangunan tua yg kini disulapnya menjadi cafe. Saya sendiri memilih duduk di kursi kayu depan rumah tua yang telah dinaungi atap dari daun coklat. Hujan mulai turun. Frans menyuruh saya untuk bersegera masuk ke dalam karena sebentar lagi tampias hujan akan membasahi. Dia menjelaskan bahwa, daun coklat yang telah dikeringkannya itu tak cukup kuat menaungi. Tak berapa lama saya melihat dari jendela, sudah bocor disana sini. Kali ini keputusan saya untuk masuk ke dalam adalah sesuatu yang tepat.


Suasana depan cafe saat hujan, 16 November 2014

Jauh sebelum bangunan ini disulap menjadi sebuah cafe dengan konsep klasik, saya memang enggan untuk masuk ke dalamnya. Beberapa kawan Kari Kecingkul pada medio Juni lalu pernah mengantar Marjolein Van Pagee masuk ke dalam bangunan ini untuk melihat-lihat kemungkinan adanya data-data sejarah yang pernah didapatkannya. Ketika itu saya memang memilih untuk tidak masuk, tapi menunggu di sebuah warung yang letaknya tak jauh di depan rumah itu. Kalau ditanya kenapa, saya sendiri bingung hendak mendeskripsikannya dalam bentuk tulisan. Yang jelas, saya memilih menunggu diluar.

Ruangan dalam cafe itu sudah disulap sedemikian rupa oleh Frans. Ada meja bar dengan ornamen-ornamen kulit kayu. Begitu pun dengan meja dan kursi dengan desaign yang simple, namun mampu membawa karakter cafe ini seperti yang diimpikan oleh si empunya. Klasik. Sama klasiknya dengan lagu yang diputarkan disini. Semakin memperkuat karakternya. Beberapa desaign interiornya dipenuhi dengan galeri foto aneka rupa. Mulai dari model, landscape, humaniora, bahkan yang abstrak sekalipun ada. Ya, sangat mudah ditebak karena pemiliknya adalah juga seorang fotografer.


a café

Kami mencoba sms Mas Ivan Production dan mengajaknya bergabung menikmati hujan di cafe sambil ngobrol-ngobrol. Ternyata Mas Ivan sedang ada di Sumber Jambe bersama kawan-kawan SWAPENKA.

Frans membuatkan kami menu andalan dari cafe ini. Olahan susu segar --yang diambil khusus dari rembangan-- dengan dicampur sirup abc squash mangga. Kami memilih yang hangat, meskipun Frans menyarankan penyajian yang dingin. Hangat maupun dingin, semuanya tetap enak dinikmati. Kalau tebakan saya, karena pilihan bahannya segar dan kualitas sirup yang bukan main-main (pengalaman mantan penjual es buah :p).


Susu Segar, menu andalan a café

Perpaduan susu panas kental kemudian diberi sirup dingin yang baru keluar dari kulkas membentuk beberapa gumpalan yang meskipun sudah dikocok sekuat apapun tetap saja menyisakan butiran kasar. Meskipun begitu, rasanya tetap enak. Mungkin lain kali jika mampir kesana lagi kami akan memilih susu segar yang tanpa ditambahi sirup apapun. Selain susu segar, Frans juga mentraktir kami makan bakwan yang kebetulan lewat dikala gerimis sedang membuncah.

Tak lama berselang, datanglah Jukok, Bintarum, Adiyatma dan Lek Griduh. Sebenarnya mereka mau langsung meluncur tapi masih terhalang hujan. Kepada mereka, Frans menghidangkan minuman yang sama namun disajikan dingin. Dari Jukok saya mendengar bahwa rombongan SWAPENKA pecah menjadi tiga. Satu rombongan bersama Mas Ivan jalan-jalan ke Sumber Jambe (Pasir, Yess, Buter, Bang Korep), rombongan kedua adalah yang ada bersama kami, dan rombongan ketiga (Arus dan Sodung) memilih kembali pulang ke Jember.


Ini foto teman-teman yang menjelajah di Sumberjambe

Hujan deras lagi, setelah sesaat gerimis. Kami ngobrol-ngobrol seputar kemungkinan usaha jamur yang akan dikelola Jukok dan kawan-kawan. Tak hanya itu, tema obrolan semakin beragam. Mulai dari dunia pencinta alam, sejarah hingga membahas Frans yang jomblo.

Satu lagi yang menarik dari tempat ini adalah kisahnya di masa lampau. Dan tempatnya tentu saja sangat nyaman bagi para pencinta to-fotoan. Semua spot disana menarik sekali. Kami sampai berfoto beberapa kali di berbagai sudut. Setelah puas, kami pamit untuk meneruskan perjalanan ke rumah Mas Ivan. Jukok dan rombongannya menuju ke Jember.

Mas Ivan belum pulang. Kami ngobrol-ngobrol bersama Ibuk sambil menikmati kopi buatan beliau. Sampai Arifin Nyek KOnyeg datang, kemudian berpindah tempat menuju rumah Yonica Putra. Di sana kami ngonrol tentang banyak hal bersama Bapaknya Putra. Mulai dari sejarah Kalisat, taman kota, gumuk, rupa bumi dan seputar desa.

Sayang sekali waktu mepet dan kami harus segera kembali ke rumah mas Ivan untuk menunaikan sholat maghrib. Saat kami tiba di pekarangan rumah Putra, sudah ada Fg FransnAta. Akhirnya kami langsung mengajaknya juga.


Akhirnya kangennya sama Fanggi terobati

Sesampainya di sana kami ngobrol-ngobrol. Lumayan lama tidak jumpa dengan adek satu ini. Ya, karena Fanggi memutuskan untuk bekerja di Bali setelah melakukan perjalanan menuntaskan mimpi untuk pergi ke Jogja. Dia bercerita banyak hal tentang kesibukannya selama di Bali. Juga bercerita tentang Febri yang tak lama ini memutuskan untuk ke Bali juga. Fanggi juga sempat bercerita tentang isu-isu lingkungan di seputaran Bali seperti reklamasi teluk benoa. Dalam satu kesempatan, dia mengabarkan niatnya untuk kembali lagi ke Kalisat dan memulai usaha kreatif disini. Terus terang saya sedikit terkejut. Di saat beberapa kawannya punya mimpi untuk ke Bali, dia malah sebaliknya. Ingin kembali ke Kalisat. Fanggi memberi batasan 6 bulan lagi dia mantap akan pulang.

Ketika asyik ngobrol ngalor ngidul, datanglah beberapa anggota aktif EXPA dengan maksud mencari Mas Ivan. Karena yang dicari masih dalam perjalanan dari Cumedak menuju ke Kalisat, maka kita lanjutkan tema obrolan. Mereka ikut nimbrung. Mulai dari sejarah Pencinta Alam, kepanduan, salam komando, sistem diklatsar, sampai obrolan mengenai gelaran dies natalis yang sekiranya akan mengusung tema illegal loging.


Sore yang ramai di rumah Mas Ivan

Asyik ngobrol, sampai Mas Ivan dan rombongan dari Sumber Jambe datang kemudian meneruskan obrolan lagi seputar rally foto yang sedianya akan digelar sebagai rangkaian dies natalis expa. Karena waktu yang mepet dengan jam CLBK On Air, kami memutuskan untuk segera meluncur ke Panaongan dan kemudian ke RRI.

Setengah hari yang cukup menarik kami lewati untuk mengisi hari kedua di pernikahan kami yang ketiga. Dan saya menuliskan semua itu pada dini hari, di usia pernikahan kami 3 tahun 3 hari. Terima kasih hari-harinya. Terima kasih untuk selalu berdoa untuk kami. Terima kasih sudah ada untuk kami.

Salam lestari..
Sudut Kalisat © 2014