Minggu, 21 Februari 2016

Perihal Nasi Bungkus

Minggu, 21 Februari 2016
Cafe datang dan pergi, begitu juga dengan gerai makanan di areal kampus Bumi Tegalboto Jember. Mati urip mati urip, berganti pengelola, berganti nama, berganti pula resep makanannya. Tapi Nasi Bungkus Bu' Bongkar masih tetap bertahan, masih tetap memberi yang terbaik pada generasi bangsa yang kelaparan. Ia ada sejak 1993.

Terima kasih Bu' Bongkar. Bongkar kebiasaan lama. Orang Indonesia suka nasi bungkus.

Catatan pendek di atas adalah sebagai komentar balasan saya --di Facebook-- untuk seorang rekan bernama Wisnu Psylockee. kami saling berkomentar sehat di sebuah catatan yang saya tulis sendiri, berjudul; Nasi Bungkus.

NASI BUNGKUS

Mula-mula ia adalah nasi putih yang diberi kering tempe, tahu, mie, dendeng sapi yang diiris tipis sekali, dan telur 'godog' bumbu merah. Lalu ia dibalut dengan daun pisang. Kemudian masih dilapisi lagi dengan koran bekas. Jika lapar, siapapun boleh membelinya dengan harga kelas rakyat. Ia bahkan boleh diminta oleh mereka yang lapar namun tak punya alat tukar.

Sederhana. Tak jarang, dari sesobek koran bekas itu kita bisa memperoleh pengetahuan.

Saya beruntung mengenal dengan baik perempuan di balik pembuatan nasi bungkus di atas, meski kini ia telah tiada. Bersamanya, saya jadi mengerti bagaimana caranya memperlakukan makanan.

Ketika memasak, memilah-milah, hingga proses membungkus, ia ibarat Sura'i yang sedang mempersembahkan sekuntum cinta untuk Sulami. Telaten, kata orang Jawa.

Sekali waktu tentu ia lelah. Namun kebiasaan itu dilakukannya setiap hari, terus menerus. Ajeg. Istiqomah. Setia kepada proses. Ini bukan tentang bagaimana menjadi kaya. Sebab jika itu judulnya, ia tak akan menitipkan sejumlah nasi bungkus itu di tempat-tempat tak strategis seperti di dekat sekumpulan abang becak. Tentu dia akan menitipkannya di tempat yang ideal, strategis, menjanjikan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh ilmu ekonomi modern.

*Kelak, Tuhan memberikan kekayaan kepada perempuan pembuat nasi bungkus itu dari pintu yang lain.

Nasi bungkus adalah tentang menempa diri, tentang hidup dan kehidupan, dan tentang rasa cinta. Mari menghargai makanan, setidaknya dengan tidak menghardiknya.

Jember, 13 Februari 2016



Nasi Bungkus di Kedai Doeloe Kalisat

Kabar baiknya, sejak 18 Februari 2016, Anda bisa kembali menjumpai nasi bungkus di Kedai Doeloe Kalisat. Kiranya, nasi bungkus itu disajikan dengan cinta. Hanya lima bungkus saja per-hari, dan hanya bagi yang lapar. Jika Anda sedang punya alat tukar, silahkan membayar sejumlah 4000 rupiah. Jika sedang tak punya, sangat boleh diminta.

Teringat pendapat Wisnu tentang nasi bungkus.

"Di Jogja ada sego kucing, di Surabaya ada sego sambel, di Bali ada nasi jenggo. Nasi bungkus selalu lekat dengan para aktivis, turun ke jalan menyuarakan haknya. Tak hanya di Indonesia, nasi bungkus juga bisa kita jumpai di Malaysia, India, Thailand, dan negara-negara Asia lainnya. Ia ibarat raja jalanan. Dijual, dimakan, dan dibuang di jalan dengan terhormat."

Kemarin malam, Om Aziz warga Kalisat asal Gresik, ia bercerita kepada saya tentang nasi bungkus bernama sego saduk'an. Adanya di kabupaten Gresik.

"Bayangkan, di Gresik itu ada penjual sego saduk'an yang setiap harinya menyediakan satu box (mobil) nasi bungkus, dan selalu habis. Harganya terjangkau, ia sangat membantu orang-orang pinggiran yang lapar."

Jika sudah begini, saya teringat nasi bungkus hasil racikan Bu' Bongkar di areal kampus Jember. Dialah perempuan yang setia kepada proses dan dengan caranya yang sederhana, membantu orang-orang lapar dengan alat tukar terbatas. Terima kasih Bu' Bongkar, terima kasih nasi bungkus.

2 komentar:

  1. Mohon maaf, pada Sabtu malam Minggu kemarin, 27 Februari 2016, nasi bungkus di Kedai Doeloe Kalisat libur.

    BalasHapus
  2. Kalau di blitar... sego bantingan


    BalasHapus

Sudut Kalisat © 2014