Selasa, 19 April 2016

Satu Gumuk Tiga Nama

Selasa, 19 April 2016
Oleh RZ Hakim

Di kecamatan Kalisat kabupaten Jember ada sebuah gumuk yang memiliki tiga nama, dan ketiganya memiliki sejarah yang lumayan panjang. Gumuk itu bernama Blanggur, Taman, dan Murni.

Dinamakan blanggur sebab di masa yang lalu orang-orang suka menyulut mercon blanggur di puncak gumuk ini, sebagai penanda bahwa ramadhan telah tiba. Ia berlanjut setiap hari selama bulan ramadhan, untuk menandai waktu berbuka puasa.

Dalam tradisi muslim memang tak dikenal blanggur. Ia lebih dekat dengan perayaan tradisi Etnis Cina, sebuah bangsa penemu bubuk mesiu. Namun jika kita menengok dinamika masyarakat Kalisat, hal itu mungkin saja terjadi.

Di masa ketika pihak Belanda memutuskan untuk membelah Kalisat dengan rel kereta api, dan menjadikan stasiun Kalisat sebagai titik percabangan menuju Panarukan dan Banyuwangi, mereka meminta bantuan para pengusaha Cina untuk tinggal di Kalisat agar bisa turut menggerakkan roda ekonomi.

Stasiun Kalisat diresmikan pada 10 Oktober 1897. Satu tahun kemudian, di Kalisat telah tercatat keberadaan tiga toko 'kelontong' milik pengusaha Cina.

Tak ada catatan hitam mengenai hubungan antara keluarga pengusaha Cina dengan masyarakat Kalisat, kecuali satu kali di tahun 1967 --mohon koreksi jika saya keliru. Itu adalah satu-satunya masa kelam kerusuhan rasial di Kalisat.

Adanya akulturasi budaya antara masyarakat setempat dengan warga pendatang memungkinkan mereka untuk mengenal budaya menyulut blanggur.

Di Bondowoso, kabupaten dekat kalisat, setiap awal dan akhir ramadhan ditandai dengan menyulut sebuah meriam. Orang Bondowoso menyebutnya blanggur.

"Tapi khusus untuk itu di alon-alon kota ada dua buah bumbung raksasa terbuat dari baja tebal, yang permanen ditanam. Blanggur disulut saat awal ramadhan --setelah maghrib-- tandanya mulai taraweh. Trus tiap sore saat maghrib tiba, blanggur juga disulut," tulis Ira Oemar di kompasiana.

Di bulan puasa, ketika menunggu datangnya adzan maghrib, orang-orang menyebutnya 'menunggu blanggur' dan tidak/belum mengenal istilah ngabuburit.

Kalisat juga punya dua meriam, mengingat dulu di sini adalah pusat latihan Artileri Medan, sebelum dipindahkan di Kebonsari pada 1975. Dua meriam itu juga ikut dipindahkan.

Catatan-catatan di atas menegaskan bahwa wajar jika masyarakat Kalisat memiliki kenangan akan blanggur, sebelum ada himbauan dari pemerintah yang melarang keberadaan segala jenis mercon di bulan ramadhan.

GUMUK TAMAN juga nama lain dari gumuk blanggur. Mengapa dinamakan gumuk taman? Sebab di masa Hindia Belanda, di lereng gumuk tersebut terdapat sebuah taman dan kolam renang yang luas. Ia adalah sebuah kolam renang yang disinyalir lebih tua dari Rembangan.


Di tepi kolam renang Taman. Foto milik Njoo Studio Kalisat, menggambarkan mode pakaian renang di masa 1930 hingga 1940an

Jika melihat koleksi foto milik Njoo Studio Kalisat, hingga tahun 1938 kolam renang di gumuk taman masih terpelihara dengan baik.

Sayang sekali makam untuk warga Eropa kini sulit dijumpai. Salah satu pemakaman Eropa di Kalisat sekarang telah beralih fungsi menjadi Balai Desa Glagahwero, Kalisat. Semisal masih ada, barangkali lebih mudah bagi kita untuk mengerti siapa saja orang-orang Eropa --beserta marganya-- yang berpotensi pernah berenang di kolam itu.

BAGAIMANA DENGAN GUMUK MURNI?

Di lereng gumuk tersebut, pernah ada sebuah Taman Kanak-kanak bernama TK Murni, sebelum TK ini berpindah di dekat Kawedanan Kalisat. Kini bangunan TK tersebut telah rata dengan tanah, sementara di dekatnya telah berdiri sebuah tower.

Pendapat lain dikemukakan oleh Mas Teguh, seorang Pande Besi terpelajar dari Kalisat. Ia bilang, dinamakan gumuk murni sebab dulu sekali di sana banyak pohon burni. Orang Jawa menyebutnya Buni. Sedangkan nama ilmiahnya adalah Antidesma bunius (L.) Spreng.

Burni atau Buni adalah tumbuhan endemik Nusantara. Buahnya kecil-kecil berwarna merah, dan tersusun dalam satu tangkai panjang, menyerupai rantai, serta bisa dimakan.

Pohon burni memiliki fungsi alami sebagai peredam polusi suara.

Karena dulu di gumuk itu banyak pohon burni, anak-anak tak takut bermain di sana. Hingga di generasi Teguh, mereka akrab dengan gumuk tersebut. Pada pemula 1980an, masih ada satu dua pohon burni. Lalu seiring berlalunya waktu, pohon burni hanya tinggal kenangan. Hanya menyisakan seonggok gumuk bernama gumuk murni.

Di masa kerajaan di Jawa, buah pohon burni biasanya dihidangkan di atas meja untuk para tamu kerajaan, atau difermentasi untuk dijadikan minuman beralkohol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014